twitter
rss


Oleh: Dra.Lisbet Simanjuntak, M.Pd

Dewasa ini banyak anak yang sudah tamat sekolah tinggi (kuliah) masih belum bisa mendapatkan pekerjaan atau membuka lapangan pekerjaan.
Hal ini dapat mempengaruhi tingginya tingkat pengangguran di negara kita.

Selain itu pada usia yang sudah dewasa, anak masih bergantung pada orangtua dalam hal ekonomi.

Bahkan anak tidak mampu mengambil keputusan ataupun menentukan pilihan...

Sebenarnya jika anak-anak tersebut memiliki ketrampilan sejak dini untuk mandiri, tentu ini bukan menjadi suatu masalah, tetapi menjadi mandiri bukanlah sesuatu yang bisa diperoleh dengan tiba-tiba. Hal ini memerlukan proses panjang yang harus dimulai sejak usia dini.

Seringkali orangtua atau pengasuh tidak tahu apa yang harus dilakukan ketika anak mulai enggan berangkat ke kelompok bermain, bahkan kadang menjadi mogok.

Hal itu seringkali disebabkan si anak tidak mampu mengungkapkan perasaannya secara terus terang mengenai masalah yang dihadapi.

Apalagi bagi anak usia dini yang masih berusia 2 - 4 tahun. Tanpa alasan jelas anak usia dini sering mogok.
Lalu apa yang harus dilakukan oleh orang tua untuk menghadapi kondisi anak bila mogok tanpa alasan?

Ada banyak hal yang harus diperhatikan oleh orangtua terutama untuk anak usia dini dalam mencari penyebab hal itu bisa terjadi, misalnya dengan bekerja sama dengan pendidik untuk mengarahkan anak agar mau berangkat ke kelompok bermain atau mencari tahu alasan anak tidak mau sekolah.

Salah satu penyebab anak takut ke kelompok bermain adalah masalah kemandirian. Di rumah anak selalu mendapatkan apa yang diinginkan dari orangtuanya dan segala kebutuhannya selalu dilayani oleh orangtuanya, sedangkan di kelompok bermain, anak diajarkan untuk mandiri dan melakukan segala sesuatunya sendiri dengan sedikit bantuan dari pendidik. Hal ini dapat membuat anak menjadi tidak nyaman di kelompok bermain, karena ia tidak begitu nyaman apabila mengerjakan pekerjaannya sendiri.

Kemandirian anak usia dini berbeda dengan kemandirian remaja ataupun orang dewasa.

Jika definisi mandiri untuk remaja dan orang dewasa adalah kemampuan seseorang untuk bertanggung jawab atas apa yang dilakukan tanpa membebani orang lain.

Sedangkan untuk anak usia dini adalah kemampuan yang disesuaikan dengan tugas perkembangan.

Adapun tugas-tugas perkembangan untuk anak usia dini adalah belajar berjalan, belajar makan, berlatih berbicara, koordinasi tubuh, kontak perasaan dengan lingkungan, pembentukan pengertian, dan belajar moral.

Apabila seorang anak usia dini telah mampu melakukan tugas perkambangan, ia telah memenuhi syarat kemandirian.

Tetapi, untuk membentuk kemandirian anak usia dini itu gampang-gampang susah. Hal ini tergantung dari orang tua anak dalam memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan psikologis anak.

Tentu saja ini merupakan tugas orangtua untuk selalu mendampingi anaknya, sebab orangtua adalah lingkungan yang paling dekat dan bersentuhan langsung dengan anak. Peran orangtua atau lingkungan terhadap tumbuhnya kemandirian pada anak sejak usia dini merupakan suatu hal yang penting.
Hal ini mengingat bahwa kemandirian pada anak tidak bisa terjadi dengan sendirinya..!
Anak perlu dukungan, seperti sikap positif dari orangtua dan latihan-latihan ketrampilan menuju kemandiriannya.

Dalam menanamkan kemandirian pada anak, hindarilah perintah dan ultimatum..
Karena dapat membuat anak selalu merasa berada di bawah orangtua dan tidak mempunyai otoritas pribadi.

Disiplin dan rasa hormat tetap bisa dilatih tanpa Anda menjadi galak pada anak.

Mengarahkan, mengajar serta berdiskusi dengan anak akan lebih efektif daripada memerintah, apalagi bila perintah tidak didasari dengan alasan yang jelas. Lama kelamaan anak akan bergantung pada perintah atau larangan Anda dalam melakukan segala sesuatu...!

Senantiasa katakan dan tunjukkan cinta, kasih sayang serta dukungan pada balita secara konsisten, hal ini akan meningkatkan rasa percaya dirinya. Dengan demikian dia akan lebih yakin pada dirinya, serta tidak ragu untuk mencoba hal-hal yang baru.

Orangtua juga harus bersikap positif pada anak, seperti: memuji, memberi semangat, senyuman,  ancungan jempol atau memberi pelukan hangat sebagai bentuk dukungan terhadap usaha mandiri yang dilakukan anak..

Adanya penghargaan atas usaha anak untuk menjadi pribadi mandiri, terlepas dari apakah pada saat itu ia berhasil atau tidak, menimbulkan perasaan percaya diri . Dengan tumbuhnya perasaan berharga, anak akan memiliki kepercayaan diri yang sangat dibutuhkan dalam proses tumbuh kembang selanjutnya.

Betapapun kotornya anak pada saat ia mencoba makan sendiri, betapapun tidak rapinya anak pada saat ia mencoba mandi sendiri, betapapun lamanya waktu yang dibutuhkan anak untuk memakai kaus kaki dan memilih sepatu atau baju yang tepat, hendaknya orangtua tetap sabar untuk tidak bereaksi negatif terhadap anak, seperti memburu- burui anak, mencela atau meremehkan anak.

Apabila orangtua/lingkungan bereaksi negatif atau tidak menghargai usaha anak untuk mandiri, maka hal ini akan berdampak negatif pada diri anak, seperti anak bisa tumbuh menjadi seorang yang penakut, tidak berani memikul tanggung jawab, tidak termotivasi untuk mandiri dan cenderung memiliki kepercayaan diri yang rendah.

Selain itu, untuk menjadi pribadi mandiri, seorang anak juga perlu mendapat kesempatan berlatih secara konsisten mengerjakan sesuatu sendiri atau membiasakannya melakukan sendiri tugas-tugas yang sesuai dengan tahapan usianya.

Orangtua atau lingkungan tidak perlu bersikap terlalu cemas, terlalu melindungi, terlalu membantu atau bahkan selalu mengambil alih tugas-tugas yang seharusnya dilakukan anak, karena hal ini dapat menghambat proses pencapaian kemandirian anak.

Kesempatan untuk belajar mandiri dapat diberikan orangtua atau lingkungan dengan memberikan kebebasan dan kepercayaan pada anak untuk melakukan tugas-tugas perkembangannya, sesuai usianya.

Namun demikian peran orangtua atau lingkungan dalam mengawasi, membimbing, mengarahkan dan memberi contoh teladan tetap sangat diperlukan, agar anak tetap berada dalam kondisi atau situasi yang tidak membahayakan keselamatannya.

Bagi anak-anak usia dini, latihan kemandirian ini bisa dilakukan dengan cara melibatkan anak dalam kegiatan praktis sehari-hari di rumah, seperti melatih anak mengambil air minumnya sendiri, melatih anak untuk membersihkan kamar tidurnya sendiri, melatih anak buang air kecil sendiri, melatih anak menyuap makanannya sendiri, melatih anak untuk naik dan turun tangga sendiri, dan sebagainya.

Selain bersikap positif, bersabar dalam melatih anak dan selalu mendukung anak, praktek kemandirian juga perlu diajarkan kepada anak melalui materi ketrampilan hidup dengan konsep-konsep sederhana. Seperti contoh: si anak diajarkan untuk mengerti bahwa semua barang miliknya (sepatu, mainan, boneka, buku cerita dll) diperoleh karena orangtua bekerja untuk mndapatkan penghasilan supaya mampu membeli semua yang dia butuhkan. Karena itu, perlu adanya sikap tegas terhadap anak bahwa tidak semua yang dia inginkan harus dipenuhi pada saat itu juga. Perlu ada waktu menunggu atau mengajarkan si anak untuk menabung terlebih dahulu sebelum membeli sesuatu.

Dengan konsep seperti itu, dalam diri anak akan tertanam nilai untuk menghargai jerih payah orang tua sekaligus belajar menjadi pribadi mandiri. Materi yang bersifat akademis bisa dikatakan sebagai salah satu dari sekian banyak mata pelajaran yang harus dipelajari anak.

Yang utama adalah ketrampilan anak untuk menjadi seorang yang mandiri.

Banyak manfaatnya jika pelajaran mengenai kemandirian diberikan pada anak usia dini. Tidak hanya teori, melainkan mengajak anak untuk mempraktekannya dengan konsep-konsep sederhana tanpa harus menunggu lulus SMA atau lulus Perguruan Tinggi...!

Tentu hasilnya akan lebih efektif dan maksimal jika hal itu diajarkan pada usia dini.

Semakin dini usia anak untuk berlatih mandiri dalam melakukan tugas-tugas perkembangannya, diharapkan nilai-nilai serta ketrampilan mandiri akan lebih mudah dikuasai dan dapat tertanam kuat dalam diri anak.

Untuk menjadi pribadi mandiri, memang diperlukan suatu proses atau usaha yang dimulai dari melakukan tugas-tugas yang sederhana sampai akhirnya dapat menguasai ketrampilan-ketrampilan yang lebih kompleks atau lebih menantang, yang membutuhkan tingkat penguasaan motorik dan mental yang lebih tinggi.
Dalam proses untuk membantu anak menjadi pribadi mandiri itulah diperlukan sikap bijaksana orangtua atau lingkungan agar anak dapat terus termotivasi dalam meningkatkan kemandiriannya.

Latihlah anak usia dini, dengan kesabaran, kecintaan, latihan yang rutin, komitmen, dan doa...

Bagi Anda yang memiliki anak berusia 3-5 tahun...
Pernahkah merasa si kecil membuat kesabaran Anda habis? Anda tidak sendiri. Menurut pakar pendidikan anak, anak-anak berusia pra sekolah memang sedang dalam tahap bermain-main dengan kemampuannya yang di satu sisi sudah bisa mandiri, namun di sisi lain tetap butuh perhatian dan cinta.

"Usia ini adalah usia paling aktif dan membuat frustasi untuk orangtua," ujar Michele Borba, EdD, penulis buku 'The Big Book of Parenting Solutions'.
Di masa usia anak paling aktif dan membuat frustasi ini, tidak sedikit orangtua yang justru melakukan kesalahan. Kesalahan-kesalahan berikut ini justru membuat orangtua makin pusing dan anak tidak terkontrol.

Berikut ini lima kesalahan umum orangtua saat membesarkan anak usia 3-5 tahun seperti dipaparkan WebMD :

Kesalahan 1:
Tidak Konsisten Perintah dan rutinitas.
Membuat si kecil merasa memiliki tempat perlindungan dari dunia yang mereka lihat tidak dapat diprediksi," ujar Spesialis Perkembangan Anak, Claire Lerner, seperti dikutip WebMD.
"Saat ada sesuatu yang sudah bisa diprediksi dan dilakukan dengan rutin, ini membuat anak merasa lebih nyaman dan aman. Mereka pun jadi lebih bersikap manis dan tenang karena tahu apa yang akan terjadi," tambahnya.

Solusi: Sebisa mungkin, usahakan lakukan segala sesuatunya sesuai rutinitas yang sudah dibuat. Melakukan hal itu secara konsisten memang sulit, apalagi jika dalam mengasuh anak Anda dibantu oleh orang lain (babysitter atau orangtua). Namun minta semua orang untuk ikut berperan serta dalam membuat rutinitas ini."Jangan sampai anak mendapatkan pesan berbeda," ujar dokter anak Tanya Remer Altman, penulis 'Mommy Calls.

Kesalahan 2: Terlalu Banyak Membantu Anak.
Beberapa orangtua akan langsung membantu balita mereka saat si kecil tidak bisa melakukan sesuatu. Sebelum melakukannya, Anda harus paham bahwa dengan menolong anak misalnya memakai sandal atau memasang puzzle saat bermain, bisa membuat anak berpikir dia tidak bisa melakukannya sendiri atau dengan kata lain anak tidak kompeten."Orangtua yang terlalu sering membantu anak melakukan sesuatu, mereka menyabotase kemampuan anak untuk percaya pada dirinya," ujar Betsy Brown Braun, penulis 'You're Not the Boss of Me'.

Solusi: "Orangtua harus mengajarkan anak untuk berusaha sendiri," jelas Braun. Saat melakukannya, Anda tentu saja boleh memberinya semangat.
"Jadilah cheerleader untuknya. Anda bisa mengatakan, ayo nak kamu bisa," tambah Brown.

Kesalahan 3: Fokus Pada Hal Negatif.
Orangtua akan mudah terpancing emosinya ketika melihat anak melakukan hal-hal negatif dan tidak terlalu peduli atau bahkan ingat akan hal positif yang dilakukan anak.
"Orangtua fokus pada apa yang tidak ingin anak mereka lakukan.
Mereka akan mengatakan, 'jangan memukul', 'jangan melempar', 'jangan pipis di celana'," jelas Altman.

Solusi: Mulailah memperhatikan hal-hal positif yang anak lakukan dan berikan mereka hadiah jika berperilaku baik. Hadiah tersebut tidak harus berupa barang. Cukup dengan pujian atau memberikan mereka pelukan dan cium.
"Hal-hal itu bisa berhasil untuk anak-anak usia pra sekolah," tutur Altman. Altman pun mencontohkan bentuk pujian apa yang bisa Anda ucapkan pada anak. "Aku senang melihat kamu bisa berteman dengan anak-anak di taman bermain". "Aku senang kamu bilang terimakasih saat nenek membantumu mengambil mainan.

"Kesalahan 4: Terlalu Banyak BicaraBicara
Pada balita bisa jadi salah satu cara untuk membuatnya menurut dan memahami sesuatu. Namun cara itu tidak tepat dilakukan saat mereka marah atau menunjukkan sikap memberontak.
"Bicara akhirnya bisa membuat pola bicara-merajuk-berdebat-berteriak-memukul," ujar Thomas W. Phelan, Ph.D. "Balita bukan orang dewasa. Mereka tidak bisa berpikir logis dan mereka tidak bisa mengasimilasi apa yang Anda katakan padanya," jelas penulis buku '1-2-3 Magic: Effective Discipline for Children 2-12' itu.

Solusi: Phelan menyarankan, saat Anda meminta anak melakukan sesuatu, jangan mendiskusikannya atau membuat kontak mata. Kalau anak tidak mau mematuhinya, berikan peringatan atau hitung sampai tiga. Jika anak masih menolak, berikan time-out atau segera berikan 'hukuman', tanpa Anda harus menjelaskan.

Kesalahan 5: Lupa Mengajak Bermain
Banyak orangtua yang merasa perlu untuk membanjiri anak mereka dengan program-program pendidikan.
Padahal belum tentu cara itu disukai anak. Hal yang justru membuat anak berkembang di usia 3-5 tahun adalah bermain, begitulah menurut psikolog dan penulis 'Playful Parenting', Lawrence J. Cohen, PhD.
"Dengan bermain otak anak berkembang sangat baik. Saat bermain anak akan secara natural membiarkan diri mereka mendapatkan tantangan, tidak terlalu gampang atau terlalu berat," jelasnya.

Solusi: Biarkan anak punya waktu bermain yang cukup. Anak-anak usia pra sekolah mendefinisikan bermain sebagai melakukan apa yang mereka memang ingin lakukan. "Anak-anak pra sekolah suka melakukan tugas rumah tangga, tapi itu mereka anggap bermain, bukan tugas mereka. Mereka memilih melakukannya karena mereka senang melakukan hal itu," ujar Cohen.